SUKU TENGGER
Suku Tengger dan keudayaannya tidak bisa di pisahkan dari Gunung Bromo.
Kosmologi Manusia Tengger Gunung Bromo berbentuk tengah atau perlabuhan untuk
sistim kepercayaan rakyat. Pada zaman dulu semua bangunan dan sanggar Tengger
dibangun menghadap Gunung Bromo. Dukun akan melakukan selamatan menghadap
Gunung Bromo. Waktu orang Tengger yang meninggal dunia dia dikuburkan dengan
kepalanya menghadap Gunung Bromo. Walaupun saat ini orang yang meninggal dunia
dikuburkan menghadap ke selatan, berbeda dari pada orang yang lain di Jawa.
Selanjutnya Dukun melakukan selamatan menghadap Gunung Bromo atau ke selatan.
Semua hal di atas bisa dijelaskan oleh kosmologi Tengger pada zaman dulu. Nama
Gunung Bromo asalnya dari dewa Brama dari agama Hindu. Ahli sejarah percaya
bahwa pada kerajaan Majapahit daerah Tengger di pakai sebagai daerah
keselamatan dewa Brama.
Menurut kosmologi agama Hindu setiap dewa melambangkan
arah angin, yaitu Isewara arahnya timur, Brama arahnya selatan, Mahadewa
arahnya barat, Visnu arahnya utara dan Siva di tengah .Bagi manusia Tengger
kalau Gunung Bromo melambangkan tengah kosmologi manusia tetapi juga dewa Brama
adalah dewa arahnya selatan akibatnya Gunung Bromo selalu berada ke selatan.
Maka ibu mata angin Tengger selalu diurus oleh Gunung Bromo ke selatan. Pada
saat ini sistim ibu mata angin digambarkan di atas tidak lagi digunnakan dan
orang Tengger gunnakan sistim sama dengan seluruh pulau Jawa. Akibatnya
sekarang ada orang yang pakai arahnya selatan untuk selamatan dan pula ada
orang yang pakai arahnya Gunung Bromo.
1 Asal Mula dan Perkembangan Suku Tengger
Masyarakat
Tengger memiliki sifat khas, beragama Hindu-Budha yang terpadu dengan adat
kepercayaan tradisional. Masyarakat Tengger tergolong masih bersifat
tradisional, dalam arti masih mampu mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya.
Hingga sekarang, pada umumnya mereka hidup sangat sederhana, penuh dengan
suasana kedamaian sebagai rakyat petani di lereng-lereng pegunungan yang curam,
namun secara bertahap telah ikut menikmati hasil kemajuan teknologi modern
dalam batas-batas tertentu.
Tengger
pada zaman Majapahit
Sejak
awal kerajaan Hindu di Indonesia Pegunungan Tengger diakui sebagai tanah suci.
Penghuninya dianggap sebagai abdi spiritual yang patuh dan disebut hulun (abdi)
dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dipelajari dari prasasti Tengger yang
pertama ditemukan berasal dari abad ke-10. Prasasti itu berangka tahun 851 Saka
(929 Masehi) dan menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandit, terletak di
pegunungan Tengger, adalah tempat suci karena dihuni oleh hulun. Hal ini
diperkuat pula dengan prasasti berangka tahun 1327 Saka (1405 M) yang ditemukan
di daerah Penanjakan (desa Wonokitri). Prasasti ini menyatakan bahwa desa
Walandit dihuni oleh hulun Hyang (abdi Tuhan) dan tanah di sekitarnya itu
disebut hila-hila (suci) (Hefner, 1985:26). Oleh karenanya, desa tersebut
dibebaskan dari pembayaran pajak.
Masyarakat
Tengger mempunyai hubungan historis dengan agama Hindu. Hal ini tampak pula
dalam hubungan antara nama Bromo dengan dewa Brahma dalam agama Hindu. Gunung
Bromo dijadikan tempat pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Dewa Brahma dan digunakan sebagai tempat penyucian para arwah untuk
bisa naik ke Kahyangan. Sedangkan lautan pasir/kaldera (segara wedhi) digambarkan sebagai jalan lintasan
bagi arwah manusia dalam perjalanan penyucian sebelum bisa naik ke Kahyangan.
Masyarakat
Tengger mempunyai hubungan historis yang sangat erat dengan kerajaan Majapahit.
Hal ini diperkuat pula dengan adanya berbagai alat upacara agama yang berasal
dari zaman kerajaan Majapahit, yang sampai saat ini masih dipakai oleh para Pandita Tengger. Alat-alat itu antara lain
prasen ‘tempat air suci terbuat dari kuningan bergambar patung dari dewa dan
zodiak agama Hindu.
Sebagian
besar prasen yang digunakan di Tengger berangka tahun Saka di antara 1243 dan
1352. Saat itu adalah masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kenyataan ini diperkuat
pula dengan pengakuan penduduk masyarakat Tengger yang menyatakan bahwa mereka
adalah keturunan Majapahit. Alat-alat ritual lain yang berasal dari Majapahit
antara lain adalah baju antrakusuma, sampet dsb. Demikian pula menurut naskah
yang berasal dari Keraton Yogyakarta yang berangka tahun 1814 M (Nancy), konon
daerah Tengger termasuk wilayah yang dihadiahkan kepada Gajah Mada karena
jasa-jasanya kepada keraton Majapahit.
Tengger
dari Abad ke-16 sampai ke-18
Keadaan
daerah Tengger pada abad ke-16 sulit diketahui karena kurangnya informasi
mengenai sejarah Tengger. Dalam Serat Kandha (Nancy) diberitakan adanya seorang
guru agama yang ikut berjuang melawan musuh Majapahit. Namun, karena
kegagalannya keraton-keraton yang dulu terletak di bawah pegunungan Tengger
dibongkar dan penghuninya diusir.
Pada awal abad ke-17 situasi politik di pulau Jawa berubah, dengan adanya perpindahan pusat kekuasaan dari pesisir utara bergeser ke selatan. Sultan Agung memperluas kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, yang akhirnya sampai pula ke daerah Tengger. Pusat kerajaan pengikut agama Hindu yang masih di ujung timur tinggal Blambangan, mereka lewat pegunungan Tengger dan merusakkan keraton, serta membawa sebagian orang Tengger ke Mataram. Namun demikian rakyat daerah Tengger itu masih tetap mempertahankan identitasnya dan melawan kekuasaan Mataram. Pada tahun 1680M, sewaktu Trunajaya gagal memberontak melawan Mataram dan pasukan Belanda, ia lari ke timur. Kemudian ia dibantu oleh orang Tengger. Demikian pula pada waktu Surapati melawan Mataram dan Pasukan Belanda, setelah terdesak ia juga lari ke ujung timur, ke Pasuruan dan dibantu oleh orang-orang Tengger. Perlawanan rakyat Tengger ini baru dapat dikuasai oleh pasukan Belanda pada tahun 1764.
Pada awal abad ke-17 situasi politik di pulau Jawa berubah, dengan adanya perpindahan pusat kekuasaan dari pesisir utara bergeser ke selatan. Sultan Agung memperluas kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, yang akhirnya sampai pula ke daerah Tengger. Pusat kerajaan pengikut agama Hindu yang masih di ujung timur tinggal Blambangan, mereka lewat pegunungan Tengger dan merusakkan keraton, serta membawa sebagian orang Tengger ke Mataram. Namun demikian rakyat daerah Tengger itu masih tetap mempertahankan identitasnya dan melawan kekuasaan Mataram. Pada tahun 1680M, sewaktu Trunajaya gagal memberontak melawan Mataram dan pasukan Belanda, ia lari ke timur. Kemudian ia dibantu oleh orang Tengger. Demikian pula pada waktu Surapati melawan Mataram dan Pasukan Belanda, setelah terdesak ia juga lari ke ujung timur, ke Pasuruan dan dibantu oleh orang-orang Tengger. Perlawanan rakyat Tengger ini baru dapat dikuasai oleh pasukan Belanda pada tahun 1764.
Tengger
pada Abad ke-19
Pada
tahun-tahun terakhir abad ke-18 pejabat Belanda mulai memasuki daerah Tengger
untuk mengamati keadaan sosial ekonominya. Pada tahun 1785 didirikan sebagai
pesanggrahan di Tosari, dan di daerah ini mulai ditanam sayur-mayur dari Eropa
dan Amerika. Para pengamat Belanda itu memperhatikan tradisi Tengger, dan
memperoleh gambaran bahwa daerah Tengger bebas dari kejahatan, bebas dari
candu; rakyat Tengger bersifat jujur dan lurus hati. Mereka pemeluk agama Hindu
yang memuja Brahma, Siwa dan Wisnu.
Situasi
politik abad ke-19 berubah. Kekurangan penduduk di daerah Tengger dan
sekitarnya menarik para pendatang dari daerah yang mulai memadat. Para penghuni
baru mulai berdatangan dan membuka pemukiman baru. Pada saat terjadi perlawanan
Diponegoro terhadap pasukan Belanda, yang akhirnya dapat dipatahkan, sebagian
sisa pasukan Diponegoro lari ke timur dan menghuni daerah sekitar pegunungan
Tengger. Sebagai akibatnya, daerah dataran sekitar Tengger dihuni oleh
pendatang baru dan menjadi terpisah dengan masyarakat Tengger asli.
Tengger
Sesudah Tahun 1945
Peran
masyarakat Tengger pada waktu perang kemerdekaan sesudah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak jelas. Seperti
diungkapkan oleh Nancy, menjelang tahun 1945 rakyat Tengger mulai menggali lagi
identitasnya dengan mempelajari sejarah nenek moyangnya yang berasal dari
daerah Majapahit. Agama yang dipeluk pada waktu itu tidak jelas meskipun
menyatakan diri beragama Budha, namun ciri-cirinya tidak jelas. Kemudian sejak
tahun 1973 mulai diadakan pembinaan keagamaan, yaitu dengan memeluk agama Hindu
Dharma.
Istilah Nama Tengger dan Asal Usul Upacara
Kasada
Separti yang telah di uraikan sebelumnya
bahwa Gunung
Bromo tidak bisa dipisahkan dari sistim kepercayaan masyarakat Tengger. Nama
Tengger pun berasal dari legenda Kasada, adalah cerita tentang cikal bakal
rakyat Tengger dan mengambarkan hubungan di antara manusia dan mahluk halus
Gunung Bromo. Dalam legenda Kasada mahluk halus Gunung Bromo tidak punya nama
sendiri tetapi dipanggil oleh nama Sang Yang Widi,
Nama Tengger sendiri
konon berasal dari legenda yang terjadi di sana. Pada jaman dahulu pasangan
Rara Anteng dan Jaka Seger kemudian menjadi TENGGER. Mereka membangun
pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa
Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman".
Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka
Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau
pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi. Dari waktu ke waktu
masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa
bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger
berumah tangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah
untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan
kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.
Tiba-tiba
ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan
syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke
kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan
kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah
tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan
Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan
malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah
Gunung Bromo menyemburkan api.
Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib : “Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo”. Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.
Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib : “Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo”. Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.
2 Kebudayaan Yang Ada Di Suku Tengger
Upacara adat
Kasodo (Yadna Kasada)
Pada dasarnya, upacara
Kasodo adalah tradisi yang di lakukan oleh suku Tengger padamalam
ke-14 bulan Kasada agar selalu terhindar dari bencana dan
malapetaka sesuai dengan legendaRoro Anteng dan Joko Seger di atas, mereka
(masyarakat Tengger) terus melakukan tradisi tersebut hingga saat ini bahkan
hal ini pun telah menjadi suatu kebiasaan dan cirri khas dari suku Tengger yang
mendiami gunung Bromo.
Pada
malam ke-14 Bulan Kasada masyarakat
Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur)
berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang
berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu
dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang
dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar
masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha
Kuasa. Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan
pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa
Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun
dan pemberkatan umat di poten lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat
Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin
upacara-upacara ritual perkimpoian dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus
ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.
Setelah
Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung
bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol
pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak
terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh
jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung
Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang
melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka
menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil
ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang
berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari
Kasada Bromo.
Pada
malam ke-14 Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha
Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak
Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil
pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo
sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo.
Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan
diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.
Upacara
Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara
Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul
24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan
pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam
bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkimpoian
dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan
membacakan mantra-mantra.
Setelah
Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung
bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol
pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak
terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh
jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung
Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang
melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka
menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil
ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang
berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang
hari Kasada Bromo.
Upacara
Kasada terdiri dari beberapa urutan atau prosesi yaitu:
1. Puja purkawa
2. Manggala upacara
3. Ngulat umat
4. Tri sandiya
5. Muspa
6. Pembagian bija
7. Diksa widhi
8. Penyerahan sesaji di kawah Bromo
Pura
Luhur Poten Gunung Bromo
Sebagai
pemeluk agama Hindu Suku Tengger tidak seperti pemeluk agama Hindu pada
umumnya, memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan, namun bila melakukan
peribadatan bertempat di punden, danyang dan poten.
Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala/zone, yaitu :
Mandala Utama
Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala/zone, yaitu :
Mandala Utama
Disebut
juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri
dari:
Padmaberfungsi
sebagai bentuknya serupa candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan.
Fungsi utamanya tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Padma tidak memakai atap
yang terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, badan/batur dan kepala yang
disebut sari dilengkapi dengan Bedawang, Nala, Garuda dan Angsa.
Bedawang Nalamelukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana. Bangunan Sekepat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana, menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan dan terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.
Bedawang Nalamelukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana. Bangunan Sekepat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana, menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan dan terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.
Kori
Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung
mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan
bangunan bujur sangkar segi empat atau sisi banyak dengan sisi-sisi sekitar
depa alit, depa madya atau depa agung. Tinggi bangunan dapat berkisar dari
sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan pula dibuat
lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan proporsi candi bentar.
Untuk
pintu masuk pekarangan pura dari jaba pura menuju mandala sisi/nista atau jaba
tengah/mandala utama bisa berupa candi gelung atau kori agung dengan berbagai
variasi hiasan. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba tengah/Mandala
Madya ke jeroan Mandala Madya sesuai keindahan proporsi bentuk fungsi dan
besarnya atap bertingkat-tingkat tiga sampai sebelas sesuai fungsinya. Untuk
pintu masuk yang letaknya pada tembok penyengker/pembatas pekarangan pura.
Mandala
Madya/Zone Tengah
Disebut
juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari:
Kori
Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung
mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan
bangunan bujur sangkar, segi empat atau segi banyak dengan sisi-sisi sekitar
satu depa alit, depa madya, depa agung.
Bale
Kentongan, disebut bale kul-kul letaknya di sudut depan pekarangan pura,
bentuknya susunan tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan
kul-kul/kentongan. Fungsinya untuk tempat kul-kul yang dibunyikan awal, akhir
dan saat tertentu dari rangkaian upacara. Bale Bengong, disebut juga Pewarengan
suci letaknya diantara jaba tengah/mandala madya, mandala nista/jaba sisi.
Bentuk bangunannya empat persegi atau memanjang deretan tiang dua-dua atau
banyak luas bangunan untuk dapur. Fungsinya untuk mempersiapkan keperluan
sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat
pemukiman.
Mandala
Nista/Zone Depan
Disebut
juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam pura yang terdiri dari
bangunan candi bentar/bangunan penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh
tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan atau di jabaan
tengah/sisi memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan utama memakai Kori
Agung. Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk
variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada
umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula
pemujaan dan persembahyangan menghadap ke arah timur ke arah terbitnya
matahari.
Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan.
Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan.
Upaccara-upacara Lainnya
Upacara Karo
Hari
raya terbesar masyarakat Tengger adalah Upacara Karo atau Hari Raya Karo.
Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru kadang
membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang, perabot pun juga baru. Makanan dan
minumanpun melimpah.Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah Mengadakan pemujaan
terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya.
Memperingati asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan
angkara murka.
Upacara
Kapat
Upacara
Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat,
bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan
terhadap arah mata angin.
Upacara
Kawulu
Upacara
ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai
penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan
untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
Upacara
Kasanga
Upacara
ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling desa
dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita
yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta.
Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan
mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi
Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.
Upacara
Unan-Unan
Upacara
ini diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah untuk
mengadakan penghormatan terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan
penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya
diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar
pamujan.
0 comments