Saturday, August 25, 2018

SEJARAH SUKU TENGGER


SUKU TENGGER

  Suku Tengger dan keudayaannya tidak bisa di pisahkan dari Gunung Bromo. Kosmologi Manusia Tengger Gunung Bromo berbentuk tengah atau perlabuhan untuk sistim kepercayaan rakyat. Pada zaman dulu semua bangunan dan sanggar Tengger dibangun menghadap Gunung Bromo. Dukun akan melakukan selamatan menghadap Gunung Bromo. Waktu orang Tengger yang meninggal dunia dia dikuburkan dengan kepalanya menghadap Gunung Bromo. Walaupun saat ini orang yang meninggal dunia dikuburkan menghadap ke selatan, berbeda dari pada orang yang lain di Jawa. Selanjutnya Dukun melakukan selamatan menghadap Gunung Bromo atau ke selatan. Semua hal di atas bisa dijelaskan oleh kosmologi Tengger pada zaman dulu. Nama Gunung Bromo asalnya dari dewa Brama dari agama Hindu. Ahli sejarah percaya bahwa pada kerajaan Majapahit daerah Tengger di pakai sebagai daerah keselamatan dewa Brama. 

Menurut kosmologi agama Hindu setiap dewa melambangkan arah angin, yaitu Isewara arahnya timur, Brama arahnya selatan, Mahadewa arahnya barat, Visnu arahnya utara dan Siva di tengah .Bagi manusia Tengger kalau Gunung Bromo melambangkan tengah kosmologi manusia tetapi juga dewa Brama adalah dewa arahnya selatan akibatnya Gunung Bromo selalu berada ke selatan. Maka ibu mata angin Tengger selalu diurus oleh Gunung Bromo ke selatan. Pada saat ini sistim ibu mata angin digambarkan di atas tidak lagi digunnakan dan orang Tengger gunnakan sistim sama dengan seluruh pulau Jawa. Akibatnya sekarang ada orang yang pakai arahnya selatan untuk selamatan dan pula ada orang yang pakai arahnya Gunung Bromo.

1  Asal Mula dan Perkembangan Suku Tengger
Masyarakat Tengger memiliki sifat khas, beragama Hindu-Budha yang terpadu dengan adat kepercayaan tradisional. Masyarakat Tengger tergolong masih bersifat tradisional, dalam arti masih mampu mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya. Hingga sekarang, pada umumnya mereka hidup sangat sederhana, penuh dengan suasana kedamaian sebagai rakyat petani di lereng-lereng pegunungan yang curam, namun secara bertahap telah ikut menikmati hasil kemajuan teknologi modern dalam batas-batas tertentu.
Tengger pada zaman Majapahit
 Sejak awal kerajaan Hindu di Indonesia Pegunungan Tengger diakui sebagai tanah suci. Penghuninya dianggap sebagai abdi spiritual yang patuh dan disebut hulun (abdi) dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dipelajari dari prasasti Tengger yang pertama ditemukan berasal dari abad ke-10. Prasasti itu berangka tahun 851 Saka (929 Masehi) dan menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandit, terletak di pegunungan Tengger, adalah tempat suci karena dihuni oleh hulun. Hal ini diperkuat pula dengan prasasti berangka tahun 1327 Saka (1405 M) yang ditemukan di daerah Penanjakan (desa Wonokitri). Prasasti ini menyatakan bahwa desa Walandit dihuni oleh hulun Hyang (abdi Tuhan) dan tanah di sekitarnya itu disebut hila-hila (suci) (Hefner, 1985:26). Oleh karenanya, desa tersebut dibebaskan dari pembayaran pajak.
Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis dengan agama Hindu. Hal ini tampak pula dalam hubungan antara nama Bromo dengan dewa Brahma dalam agama Hindu. Gunung Bromo dijadikan tempat pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma dan digunakan sebagai tempat penyucian para arwah untuk bisa naik ke Kahyangan. Sedangkan lautan pasir/kaldera (segara wedhi) digambarkan sebagai jalan lintasan bagi arwah manusia dalam perjalanan penyucian sebelum bisa naik ke Kahyangan.
Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis yang sangat erat dengan kerajaan Majapahit. Hal ini diperkuat pula dengan adanya berbagai alat upacara agama yang berasal dari zaman kerajaan Majapahit, yang sampai saat ini masih dipakai oleh para Pandita Tengger. Alat-alat itu antara lain prasen ‘tempat air suci terbuat dari kuningan bergambar patung dari dewa dan zodiak agama Hindu.
Sebagian besar prasen yang digunakan di Tengger berangka tahun Saka di antara 1243 dan 1352. Saat itu adalah masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kenyataan ini diperkuat pula dengan pengakuan penduduk masyarakat Tengger yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan Majapahit. Alat-alat ritual lain yang berasal dari Majapahit antara lain adalah baju antrakusuma, sampet dsb. Demikian pula menurut naskah yang berasal dari Keraton Yogyakarta yang berangka tahun 1814 M (Nancy), konon daerah Tengger termasuk wilayah yang dihadiahkan kepada Gajah Mada karena jasa-jasanya kepada keraton Majapahit.


Tengger dari Abad ke-16 sampai ke-18
 Keadaan daerah Tengger pada abad ke-16 sulit diketahui karena kurangnya informasi mengenai sejarah Tengger. Dalam Serat Kandha (Nancy) diberitakan adanya seorang guru agama yang ikut berjuang melawan musuh Majapahit. Namun, karena kegagalannya keraton-keraton yang dulu terletak di bawah pegunungan Tengger dibongkar dan penghuninya diusir.
Pada awal abad ke-17 situasi politik di pulau Jawa berubah, dengan adanya perpindahan pusat kekuasaan dari pesisir utara bergeser ke selatan. Sultan Agung memperluas kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, yang akhirnya sampai pula ke daerah Tengger. Pusat kerajaan pengikut agama Hindu yang masih di ujung timur tinggal Blambangan, mereka lewat pegunungan Tengger dan merusa
kkan keraton, serta membawa sebagian orang Tengger ke Mataram. Namun demikian rakyat daerah Tengger itu masih tetap mempertahankan identitasnya dan melawan kekuasaan Mataram. Pada tahun 1680M, sewaktu Trunajaya gagal memberontak melawan Mataram dan pasukan Belanda, ia lari ke timur. Kemudian ia dibantu oleh orang Tengger. Demikian pula pada waktu Surapati melawan Mataram dan Pasukan Belanda, setelah terdesak ia juga lari ke ujung timur, ke Pasuruan dan dibantu oleh orang-orang Tengger. Perlawanan rakyat Tengger ini baru dapat dikuasai oleh pasukan Belanda pada tahun 1764.

Tengger pada Abad ke-19
Pada tahun-tahun terakhir abad ke-18 pejabat Belanda mulai memasuki daerah Tengger untuk mengamati keadaan sosial ekonominya. Pada tahun 1785 didirikan sebagai pesanggrahan di Tosari, dan di daerah ini mulai ditanam sayur-mayur dari Eropa dan Amerika. Para pengamat Belanda itu memperhatikan tradisi Tengger, dan memperoleh gambaran bahwa daerah Tengger bebas dari kejahatan, bebas dari candu; rakyat Tengger bersifat jujur dan lurus hati. Mereka pemeluk agama Hindu yang memuja Brahma, Siwa dan Wisnu.
Situasi politik abad ke-19 berubah. Kekurangan penduduk di daerah Tengger dan sekitarnya menarik para pendatang dari daerah yang mulai memadat. Para penghuni baru mulai berdatangan dan membuka pemukiman baru. Pada saat terjadi perlawanan Diponegoro terhadap pasukan Belanda, yang akhirnya dapat dipatahkan, sebagian sisa pasukan Diponegoro lari ke timur dan menghuni daerah sekitar pegunungan Tengger. Sebagai akibatnya, daerah dataran sekitar Tengger dihuni oleh pendatang baru dan menjadi terpisah dengan masyarakat Tengger asli.
Tengger Sesudah Tahun 1945
Peran masyarakat Tengger pada waktu perang kemerdekaan sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak jelas. Seperti diungkapkan oleh Nancy, menjelang tahun 1945 rakyat Tengger mulai menggali lagi identitasnya dengan mempelajari sejarah nenek moyangnya yang berasal dari daerah Majapahit. Agama yang dipeluk pada waktu itu tidak jelas meskipun menyatakan diri beragama Budha, namun ciri-cirinya tidak jelas. Kemudian sejak tahun 1973 mulai diadakan pembinaan keagamaan, yaitu dengan memeluk agama Hindu Dharma.

 Istilah Nama Tengger dan Asal Usul Upacara Kasada
            Separti yang telah di uraikan sebelumnya bahwa Gunung Bromo tidak bisa dipisahkan dari sistim kepercayaan masyarakat Tengger. Nama Tengger pun berasal dari legenda Kasada, adalah cerita tentang cikal bakal rakyat Tengger dan mengambarkan hubungan di antara manusia dan mahluk halus Gunung Bromo. Dalam legenda Kasada mahluk halus Gunung Bromo tidak punya nama sendiri tetapi dipanggil oleh nama Sang Yang Widi,  
Nama Tengger sendiri konon berasal dari legenda yang terjadi di sana. Pada jaman dahulu pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger kemudian menjadi TENGGER. Mereka membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman". Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi. Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumah tangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api.
Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib :
 “Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo. Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.

2 Kebudayaan Yang Ada Di Suku Tengger
 Upacara adat Kasodo (Yadna Kasada)
Pada dasarnya, upacara Kasodo adalah tradisi yang di lakukan oleh suku Tengger padamalam ke-14 bulan Kasada agar selalu terhindar dari bencana dan malapetaka sesuai dengan legendaRoro Anteng dan Joko Seger di atas, mereka (masyarakat Tengger) terus melakukan tradisi tersebut hingga saat ini bahkan hal ini pun telah menjadi suatu kebiasaan dan cirri khas dari suku Tengger yang mendiami gunung Bromo.
Pada malam ke-14 Bulan Kasada masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa. Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkimpoian dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.
Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.
Pada malam ke-14 Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.
Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkimpoian dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.
Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.
Upacara Kasada terdiri dari beberapa urutan atau prosesi yaitu:
1.      Puja purkawa
2.      Manggala upacara
3.      Ngulat umat
4.      Tri sandiya
5.      Muspa
6.      Pembagian bija
7.      Diksa widhi
8.      Penyerahan sesaji di kawah Bromo
Pura Luhur Poten Gunung Bromo
Sebagai pemeluk agama Hindu Suku Tengger tidak seperti pemeluk agama Hindu pada umumnya, memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan, namun bila melakukan peribadatan bertempat di punden, danyang dan poten.
Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala/zone, yaitu :
Mandala Utama
Disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri dari:
Padmaberfungsi sebagai bentuknya serupa candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan. Fungsi utamanya tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Padma tidak memakai atap yang terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, badan/batur dan kepala yang disebut sari dilengkapi dengan Bedawang, Nala, Garuda dan Angsa.
Bedawang Nalamelukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana. Bangunan Sekepat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana, menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan dan terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar segi empat atau sisi banyak dengan sisi-sisi sekitar depa alit, depa madya atau depa agung. Tinggi bangunan dapat berkisar dari sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan pula dibuat lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan proporsi candi bentar.
Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba pura menuju mandala sisi/nista atau jaba tengah/mandala utama bisa berupa candi gelung atau kori agung dengan berbagai variasi hiasan. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba tengah/Mandala Madya ke jeroan Mandala Madya sesuai keindahan proporsi bentuk fungsi dan besarnya atap bertingkat-tingkat tiga sampai sebelas sesuai fungsinya. Untuk pintu masuk yang letaknya pada tembok penyengker/pembatas pekarangan pura.
Mandala Madya/Zone Tengah
Disebut juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari:
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar, segi empat atau segi banyak dengan sisi-sisi sekitar satu depa alit, depa madya, depa agung.
Bale Kentongan, disebut bale kul-kul letaknya di sudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan kul-kul/kentongan. Fungsinya untuk tempat kul-kul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara. Bale Bengong, disebut juga Pewarengan suci letaknya diantara jaba tengah/mandala madya, mandala nista/jaba sisi. Bentuk bangunannya empat persegi atau memanjang deretan tiang dua-dua atau banyak luas bangunan untuk dapur. Fungsinya untuk mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.
Mandala Nista/Zone Depan
Disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar/bangunan penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan atau di jabaan tengah/sisi memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan utama memakai Kori Agung. Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghadap ke arah timur ke arah terbitnya matahari.
Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan.

Upaccara-upacara Lainnya
Upacara Karo
Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah Upacara Karo atau Hari Raya Karo. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru kadang membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang, perabot pun juga baru. Makanan dan minumanpun melimpah.Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah  Mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka.
  Upacara Kapat
Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
 Upacara Kawulu
Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
  Upacara Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.
  Upacara Unan-Unan
Upacara ini diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan


Load disqus comments

0 comments