Korupsi Masih
“Berjaya”
Kita kembali
dikejutkan dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir pekan lalu. Komisi antirasuah itu menangkap
Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), DKI Jakarta, Muhammad
Sanusi dari Partai Gerindra yang diduga menerima suap sebesar Rp. 2,14 miliar
dalam dua tahap dari PT Agung Podomoro Land. Penangkapan itu terkait dengan
pembahasan aturan reklamasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Jakarta Utara.
Selain Sanusi, KPK juga menangkap Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land,
Ariesman Widjaja dan seorang karyawannya, Trinanda Prihantoro. KPK juga
mencegah chairman Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma yang
hendak bepergian ke luar negeri.
Sebelumnya, KPK
menangkap dua pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Brantas Abipraya
(Persero) serta seorang dari pihak swasta di sebuah hotel di bilangan Cawang,
Jakarta Timur. Ketiga orang tersebut antara adalah: Sudi Wantoko (Direktur
Keuangan PT Brantas Abipraya), Dandung Pamularno (Manajer Senior PT Brantas
Abipraya), dan Marudut (pihak swasta). Dari ketiganya, KPK berhasil menyita
uang 148,835 dolar AS. Penangkapan itu terkait dengan upaya penghentian
penyidikan kasus korupsi PT Brantas Abipraya di Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dua
orang jaksa, yakni Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejatia) DKI Jakarta, Sudung
Situmorang dan Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu juga
ikut diperiksa karena didua ada kaitan dengan kasus tersebut.
Kembali
ditangkapnya anggota legislatif, pejabat negara dari BUMN, dan pengusaha atau
swasta oleh KPK memperlihatkan bahwa reformasi yang bertujuan mengubah sistem
korup kini justru dikuasai oleh pihak-pihak yang menguasai sistem strategis.
Seperti pada
penangkapan-penangkapan sebelumnya, hal itu hampir selalu diwarnai oleh
kekagetan orang-orang dan keluarga dekat pelaku. Namun faktanya, ini sungguh
terjadi dan terjadi lagi. Betapa tidak, seorang berperilaku baik dan selalu
mengumandangkan perang terhadap korupsi, ternyata ikut tergelincir ke kubangan
perbuatan tidak terpuji ini.
Jika ditelusuri,
kondisi ini antara lain disebabkan oleh semakin ringannya vonis untuk koruptor.
Jika pada tahun 2013 rata-rata lama vonis penjara terpidana korupsi adalah 2
tahun 11 bulan, maka pada tahun 2015 menjadi 2 tahun 2 bulan. Pada saat yang
sama, makin terkikisnya budaya malu membuat masyarakat permisif dan bahkan
cenderung mudah melupakan pelaku koruptor….
0 comments